Menyusuri Pecinan di Kota Kembang

Hilir mudik perjalanan hidup dan kehidupan manusia memang menarik tuk dikaji dan ditelisik. Seperti kehidupan orang-orang di masa silam yang menghiasi di Kota Kembang, sebutlah salah satunya masyarakat dari etnis Tionghoa.

Dari literatur sejarah, masyarakat dari etnis Tionghoa hadir di Bandung atas prakarsa Gubernur Jendral Hindia Belanda Daendels yang sedang giat-giatnya membangun nusantara seperti pembangunan jalan raya pos Anyer-Panarukan pada tahun 1810. Selain itu juga ada yang berpendapat kedatangan etnis Tionghoa di Paris van Java merupakan orang-orang pelarian perang Diponegoro tahun 1825-1830.

Keberadaan tempat tinggal etnis Tionghoa atau pecinan di Kota Kembang berbeda dengan kawasan pecinan di kota Batavia maupun Semarang. Di kedua kota tersebut di sekelilingnya dibangun sebuah benteng yang memisahkan masyarakat Tionghoa dengan etnis lainnya. Sedangkan di Kota Kembang kawasan pecinan lebih leluasa karena tidak dibenteng.

Kawasan pecinan di Bandung sendiri terbagi menjadi 3 wilayah. Pertama di seberang Pasar Baru yang kini bernama Jalan Pecinan Lama. Kedua daerah belakang Pasar Baru hingga jalan Kebonjati, dan yang terakhir dari Jalan Gardu Jati hingga Andir.

Pada suatu waktu di hari Minggu yang cerah, saya menyempatkan diri menyusuri pecinan di Kota Kembang bersama 30 orang lainnya yang tergabung di komunitas Aleut. Berangkat dari Gedung Merdeka, tepat jam 8 pagi kami berjalan menyusuri Jalan Asia Afrika menuju Jalan Banceuy.

Banceuy berarti istal kuda

Kami mampir dulu ke belakang gedung Bank Mandiri. Di sini masih nampak sejumlah istal tempat kuda parkir peninggalan masa kolonial. Sehingga tidak aneh jika jalan yang kami susuri dinamakan Banceuy yang berarti istal kuda. Terkait nama Banceuy, orang Bandung banyak yang kecele malah sering bingung menyamakan Banceuy itu dengan bancet hewan yang mirip katak.

Keberadaan Banceuy ini sangat terkait dengan kuda sebagai alat transportasi utama pada masa itu. Dengan kemampuan maksimal kuda-kuda menempuh perjalanan sejauh 60km maka kuda tersebut akan diganti dengan yang lebih segar, dan setelah rehat maka biasanya perjalanan akan dilanjutkan kembali.

Ketika kami masih di Banceuy, dipaparkan juga sejarah dibukanya Jalan Raya Pos yang menghubungkan Anyer Panarukan atas perintah Gubernur Jendral Daendels pada tahun 1810. Dan jalan yang berjarak seribu kilometer tersebut pada awalnya hanya bisa dinikmati para bule dan para petugas pemerintahan. Pada tahun 1856 bangsa pribumi baru menikmati jalan tersebut.

Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju jalan Alkateri. Namun, ketika di depan bangunan tua bertuliskan Dezon di Jalan Asia Afrika, kami berhenti sejenak dan mendengarkan sang pemandu yang biasa disapa kang BR. Dia menerangkan bahwa bangunan tersebut dulu merupakan sebuah toko milik orang Jepang. Menurut penelitian, ketika Jepang hendak menguasai Pasifik Raya, Negara Sakura tersebut menyebarkan mata-matanya termasuk ke Indonesia.

China Town From BloemedStad atau Pecinan di Kota Kembang lokasinya berada di sebelah barat alun-alun Bandung. Ini sesuai dengan kebijakan pemerintahan Kolonial Belanda yang membagi wilayah berdasarkan etnis.

Dalam berbagai literatur disebutkan penjajah menempatkan para bule baik dari Belanda maupun bangsa Eropa di sebelah utara alun-alun. Sedangkan warga dari bangsa Asia timur seperti Tionghoa, Arab, India, ditempatkan di sebelah barat. Bangsa pribumi di tempatkan di sebelah selatan, dan bagi warga keturunan Indo di sediakan tempat di sekitar Jalan Lengkong dan Malabar.

Jalan Alkateri

Kemudian perjalanan kami lanjutkan ke jalan Alkateri. Dari namanya bisa kita tebak kalau Alkateri merupakan nama orang yang berasal dari Timur Tengah. Menurut BR, sang pemandu, di kawasan ini terdapat empat keluarga Arab, yaitu Alkateri, Alatas, Al Jufri, dan Al Weni. Dan Alkaterilah orang yang dikenal sebagai tuan tanah yang memiliki pabrik roti dan susu.

Di Jalan Alkateri ini pun kita masih bisa menyaksikan sedikit tata kota buatan pemerintah colonial. Di sini terdapat deretan blok toko. Satu blok terdiri dari 5-6 toko dan antar blok dibatasi brangang, sebuah gang yang dijadikan tempat evakuasi kalau terjadi kebakaran.

Keberadaan brangang sendiri sangat vital, karena di belakang deretan toko itu terdapat pemukiman warga yang cukup padat. Namun sayang kini di brangang yang ada banyak didirikan bangunan yang justru selain mengurangi keindahan juga fatal. Jika terjadi kebakaran maka warga yang berada di pemukiman sulit untuk melewatinya.

Di jalan ini kita akan menemukan sebuah warung kopi yang berdiri sejak tahun 1831, warung kopi ini sekarang bernama Warung Kopi Purnama. Seperti biasa warung kopi ini tempat warga Bandung sarapan sekaligus ajang bersosialisasi dan berbisnis. Dan di Alkateri pula kita akan menemukan sebuah gang bernama Al Jabri. Pada masa kolonial gang ini lebih dikenal sebagai pusat penjualan opium di Kota Kembang. Kini telah berganti dengan deretan kios penjualan barang antik.

Kopi Aroma

Kemudian penelusuran kami lanjutkan ke arah Banceuy lagi karena ada sebuah tempat yang terkenal di nusantara yang belum sempat kami singgahi, yaitu toko sekaligus pabrik kopi Aroma. Tepat jam 8.50 WIB kami pun berdiri di depan Toko Kopi Aroma.

Menurut penuturan BR, pabrik kopi ini berdiri sejak tahun 1929. Peralatan dan pengolahan kopi di tempat ini memang patut diacungi dua jempol karena Pak Wid sebagai pemilik lebih mengedepankan kualitas dari pada keuntungan komersial semata.

Kenapa demikian? Karena sebelum kopi siap dikonsumsi para pembeli, si biji kopi dijemur sampai 8 tahun sehingga kopi yang disajikan pasti bebas dari menyebabkan kembung, dan konon kopi Aroma bisa dikonsumsi oleh orang penderita penyakit diabetes. Maka tak salah kopi Aroma banyak diburu para penikmat kopi dari segala penjuru nusantara.

Perjalanan kami di China Town kali ini menyusuri pemukiman pertama etnis Tionghoa di Kota Kembang, yaitu jalan Pecinan Lama di depan kawasan Pasar Baru. Masih terlihat deretan toko dengan arsitektur tempo doeloe dengan beragam barang yang ditawarkan, baik barang-barang elektronik maupun bahan-bahan bangunan. Cuma saying, pada saat kami mampir ke daerah sana banyak toko yang tutup.

Ketika sampai di Jalan ABC, kami menyebrang ke Jalan Belakang Pasar Baru menggunakan jembatan yang sangat jarang digunakan warga Bandung. Jadi ketika rombongan berduyun-duyun menyusuri jembatan, para pedagang dan warga sekitar memperhatikan gerak-gerik kami.

Sejarah Pasar Baru

Di samping Pasar Baru kami berhenti sejenak sambil mendengar BR, sang nara sumber, menuturkan sejarah berdirinya pasar terbaik pada masa kolonial. Pada awalnya Pasar Baru berada di Jalan Ciguriang, kalau sekarang kawasan tersebut telah berdiri sebuah pusat perbelanjaan yang bernama King’s Shopping Centre. Pada tahun 1842 di pasar di Ciguriang terjadi kerusuhan yang berakhir dengan ludesnya pasar tersebut.

Dari literatur sejarah, Pasar Ciguriang sengaja dibakar oleh Munada, seorang Cina mualaf. Dia kecewa terhadap kebijakan pemerintahan kolonial. Setelah ludes, maka pasar pun dipindahkan ke Residen Weg atau sekarang jalan Otto Iskandar Dinata.

Kemegahan Pasar Baru Bandung sangat terlihat jelas dari foto-foto yang diperlihatkan BR, sehingga wajar kalau pasar ini digelari sebagai pasar terbaik dan terbersih pada masanya. Cuma saying, setelah di renovasi pada tahun 1970, pasar baru terlihat kumuh dan tidak terawat, yang akhirnya pasar tersebut dirubuhkan dan diganti dengan sebuah pasar yang modern yang megah berdiri sejak tahun 2007.

Namun, keberadaan pasar tradisional yang menjadi bagian Pasar Baru kini hilang seiring terlalu mahalnya lapak-lapak yang disewakan atau pun dijual pengembang. Sempat para pedagang tradisional mengeluhkan harga jual kios yang sangat mahal dan beberapa kali mereka melakukan demonstrasi menentang kebijakan ini.

Setelah kami mereguk segelas minuman khas Jawa Barat yang dikenal dengan nama Es Goyobod, perjalanan pun kami lanjutkan menuju Jalan Belakang Pasar Baru. Lazimnya sebuah pasar, ketika menyusuri di sana kami mendapati suasana pasar yang hiruk pikuk plus sedikit sampah di sana sini. Apalagi dengan cuaca kota Bandung yang semakin hari bagi penduduknya terasa panas “ngaheab” alias panas sekali, sungguh tak terasa nyaman. Tapi bagi kami semua itu tak menjadi hambatan tuk terus menelusuri jejak-jejak etnis Tionghoa di Kota Kembang.

Di Jalan Belakang Pasar Baru berderet toko-toko dengan arsitektur tempo doeloe. Tepat jam 10.00 kami pun berhenti di sebuah rumah yang berada di seberang kios cakue Osin. Lagi-lagi tanpa dikomando pun sebagian dari rombongan menyerbu tuk mencicipi cakue tersebut. Cakuenya memang besar sekali, hampir semua dari rombongan mencicipi cakue yang terasa lezat dan nikmat yang terkenal sejak tahun 1920.

Bisokop masa kolonial

Setelah kami menikmati cakue Osin, perjalanan pun dilanjutkan ke sebuah bangunan yang dulunya adalah sebuah pistren alias bioskop pada masa kolonial. Bioskop ini awalnya bernama Preanger terus berubah jadi Luxor dan terakhir berganti nama menjadi Roxy.

Di bioskop ini pada tahun 1926 menampilkan film pertama yang bisa berbicara dan sudah barang tentu warga Bandung pun berbondong-bondong memadati bioskop ini. Namun ada kisah sedih bagi warga pribumi jika mereka menonton di bioskop. Jika para bule Belanda dan Eropa menonton tepat di depan layar, maka warga kita menyaksikan film yang lagi diputar itu di belakang layar. Kembali ke gedung bioskop tadi, bangunan tersebut kini telah berubah fungsi menjadi sebuah kantor asuransi.

Perjalanan pun diteruskan ke jalan Basar. Jalan ini lebih dikenal oleh masyarakat Bandung dengan nama Pasar Barabadan. Di sini kita akan menemukan beragam perlengkapan rumah tangga berbahan bambu dan ramah lingkungan, mulai dari boboko (wadah nasi), tolombong (wadah besar serbaguna) sapu ijuk, kamoceng dan lain sebagainya.

Kemudian setelah melewati pasar Barabadan kami pun berjalan menuju Hotel Surabaya di Jalan Kebon Jati. Hotel ini dibangun pada tahun 1886 yang merupakan hotel generasi pertama yang didirikan di Kota Kembang seiring dengan masuknya rel kereta ke kota Bandung pada tahun 1884.

Namun sayang, ketika kami mencoba mampir kesana, petugas keamanan hotel tidak memberikan izin karena di hotel sedang dilakukan pemugaran dan pembangunan kembali.
Kelenteng Satya Budhi

Bandung di tengah hari semakin terasa panas, kami pun terus berjalan memasuki Jalan Gardu Jati kemudian melewati Kawasan Saritem dan akhirnya sampai di jalan Kelenteng. Di sini berdiri sebuah kelenteng bernama Satya Budhi sejak tahun 1865. Awalnya kelenteng ini bernama Hiop yang artinya Istana Para Dewa dan pada tahun 1885 berganti nama lagi menjadi Than Ki Ong.

Ada kisah yang menarik dengan kelenteng tersebut. Sebelum Khong Hu Cu diakui sebagai agama di negeri ini, para penganutnya menumpang melakukan ritual di vihara Budha. Setelah pada masa reformasi, para penganut Khong Hu Cu pun leluasa melakukan ritualnya pada tempat yang semestinya. Maka sekarang kita mendapati sebuah kelenteng Satya Budhi berdiri berdampingan dengan Vihara Budha Gaya.

Dan penyusuran ini pun diakhiri dengan berbincang-bincang di halaman vihara Budha Gaya mengenai apapun yang telah kami lihat dan rasakan selama perjalanan menyusuri pecinan di kota kembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar